Manusia berperan paling aktif dalam mengubah tatanan Lingkungan. Manusia bisa dengan cepat mengubah Lingkungan, namun karena perbuatan manusia pula lah Lingkungan menjadi berubah bahkan dapat berdampak merusak bagi Lingkungan maupun ekosistem didalamnya.
Hubungan manusia dengan lingkungan tidak dapat dipisahkan, karena manusia bergantung kepada alam, pun sebaliknya, alam pun membutuhkan campur tangan manusia untuk dipelihara sehingga tercipta satu bentuk simbiosis.
Dalam hubungan manusia dan alam, terdapat etika – etika yang perlu diperhatikan. Namun pada kenyataannya manusia masih menyalahi etika dalam mengelola lingkungan. Seperti halnya bencana Lumpur Lapindo yang terjadi di Porong Sidoarjo pada tahun 2007 silam. PT Lapindo Brantas dianggap melakukan pelanggaran etika dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas.
Di lain sisi seharusnya, kita tidak dapat menutup mata begitu saja terhadap kerusakan lingkungan yang telah enam tahun terakhir ini memberikan kerusakan, dan mengakibatkan kecemasan pada setiap manusia di sekitarnya. Lumpur panas yang menyembur di dekat sumur gas Lapindo Brantas Inc. di Porong, Sidoarjo. Sampai dengan saat ini lumpur bercampur gas metana, yang kita ketahui gas metana adalah gas beracun telah menebarkan sengsara serta kerusakan yang akibat semburan lumpur tersebut sudah menenggelamkan beberapa desa dan mengakibatkan kerusakkan struktur tanah hingga 3 km dari pusat semburan, tidak menutup kemungkinan apabila tetap dibiarkan menerus menyembur, lumpur tersebut dapat menenggelami lebih banyak desa-desa sekitarnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang dilakukan PT. Lapindo Brantas. Tim yang dipimpin oleh Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, itu menyatakan, data yang dirilis Lapindo yang menjadi dasar bukti baru timnya bahwa pengeboran menyebabkan luapan lumpur. Dan melalui serangkaian konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral, diperoleh hasil akhir bahwa kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo.
Akan tetapi pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006. Sementara sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi)
Puluhan ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah tentang masalah Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik dari pihak Lapindo maupun para pakar independen. Dan karena para ahli yang berada di pihak Lapindo tetap berkeras dengan pendirian mereka, untuk memperoleh kepastian pendapat dari para ahli dunia tersebut dengan cara voting, menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar peserta yang hadir berpendapat bahwa penyebab semburan adalah karena pengeboran yang disebabkan oleh Lapindo. Hasil konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik, pemerintah, dan penegak hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus bertanggung jawab dalam Bencana ini. Kesimpulan ini juga diharapkan bisa segera menghentikan berbagai upaya Lapindo untuk menghindar dari kewajiban, serta segera memenuhi hak dari korban Lumpur.
Berdasarkan artikel diatas, diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan dalang dibalaik meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.
Ini realita yang terjadi sifat manusia yang rakus akan segala hal dan akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa memperhatikan dampak kerusakan lingkungan dan sosial. Hal tersebut terbukti oleh eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo memang rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamatan dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.
Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributif juga dilanggar oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil, dan keadilan sosial. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia atau lingkungan, karena menganggap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang kemudian dijadikan alasan perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan.
Berdasarkan peristiwa tersebut hendaknya kita sebagai manusia harus mensyukuri segala sesuatu yang diberikan Tuhan melalui sumber daya alam yang ada dan hendaknya kita menjaga dan merawat karena kita juga yang mengelola dan kita juga yang menikmati hasil yang diberikan alam. Maka dari itu kita harus bersahabat dengan alam jangan sampai alam memusuhi kita. Semoga kejadian ini dapat diambil hikmahnya oleh kita semua dan semoga tidak akan terjadi lagi akibat ulah manusia yang lalai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar